Belajar dari Penurunan Populasi di Jepang Yang Wajib Kita Tau
Hal mendasar dari materi Belajar dari Penurunan Populasi di Jepang, bahwa setiap masyarakat negeri wajib mempunyai kepahaman seputar materi ekonomi, hal ini erat kaitannya dengan perkembangan ekonomi di rumahtangga, masyarakat dan negara itu sendiri, maka belajar ekonomi memang wajib di galakkan sejak dini, sejak masih mengenal bangku pendidikan. Misalnya, karir paling populer yang Bisa dikejar kebanyakan dengan gelar ekonomi. Penelitian yang berbeda cenderung menemukan nilai gaji lulusan ekonomi cukup dibayar dengan bagus. Ini mengajarkan kita bagaimana Tutorial membuat pilihan, yang sangat penting dalam bisnis.
Belajar dari Penurunan Populasi di Jepang
Artikel ini masih erat kaitannya dengan isu-isu yang mengemuka dalam bonus demografi (demographic bonus) yang kita ulas sebelumnya. Kita akan mempelajari fenomena unik yang terjadi di Jepang, yakni penurunan jumlah penduduk yang terjadi dari tahun ke tahun, terutama menyangkut faktor-faktor penyebab timbulnya hal tersebut dan bagaimana upaya pemerintah setempat mengatasinya.
Apabila dibelahan dunia lain, terutama di negara berkembang dan negara miskin, permasalahan mengenai populasi biasanya mengenai ledakan jumlah penduduk Sebab tingginya angka kelahiran (fertility rate), maka yang terjadi di Jepang justru sebaliknya.
Penelitian menunjukkan bahwa penurunan populasi untuk usia kerja (15-64 tahun) per tahun mencapai rata-rata satu juta orang, dan diprediksikan akan terus menurun hingga 17% hingga dengan 2030.
wajib diketahui bahwa total penduduk Jepang di 2017 mencapai kurang lebih 126.5 juta jiwa, jumlah ini akan merosot di 2030 menjadi sekitar 116.5 juta jiwa dan akan semakin menyusut menjadi 97 juta jiwa di 2050 (National Institute of Population as well as also also Social Security Research, Population Projections for Japan: 2011 – 2060, Januari 2012).
Pertanyaan yang mengemuka tentunya merupakan bagaimana penurunan jumlah penduduk Bisa terjadi. Di negara berkembang dan negara miskin, terutama yang sedang mendapatkan konflik, terjadinya generasi yang hilang (lost generation) cenderung diakibatkan oleh perang, konflik bersenjata, serta pembumi-hangusan (genocide) terhadap kelompok masyarakat tertentu.
Sementara yang terjadi di Jepang, penurunan populasi lebih dikarenakan oleh faktor tingginya usia Asa hidup (life expectancy) yang dibarengi dengan menurunnya jumlah angka kelahiran (fertility rate). Faktor usia Asa hidup utamanya dipengaruhi oleh kesadaran akan pentingnya kesehatan oleh masyarakat sendiri, serta fasilitas kesehatan dan dana kesehatan yang disediakan oleh pemerintah Jepang.
Mengenai penurunan jumlah angka kelahiran lebih dikarenakan adanya pemikiran dari generasi muda di Jepang yang lebih mengutamakan karir dan pekerjaan profesional daripada membangun keluarga. Selain itu, individu-individu yang telah berkeluarga cenderung mempunyai dedikasi yang tinggi untuk merawat anak dengan sebaik-baiknya, sehingga membuat mereka di umumnya hanya mempunyai satu anak dalam setiap keluarga.
Penyebab lain merupakan terbatasnya ruang pribadi dan Tanah perumahan, terutama di kota-kota besar karena terbatasnya Tanah. Hal ini menimbulkan keadaan yang kurang kondusif untuk kaum muda dan pasangan baru dalam membangun suatu keluarga.
Disamping itu, studi juga menunjukkan bahwa penurunan populasi di Jepang berimplikasi negatif di produk nasional bruto (Gross National Product/GNP). Hal ini terjadi Sebab penurunan populasi didominasi oleh kalangan usia kerja. Tercatat juga bahwa angkatan kerja diperkirakan mendapatkan penurunan hingga dengan 50% untuk 50 tahun mendatang. Faktor lain yang menjadi temuan merupakan walaupun angka Asa hidup terbilang tinggi, sehingga memungkinkan individu-individu Bisa bekerja (memperoleh penghasilan) dalam periode waktu yang lebih lama, namun hal ini tidak sebanding dengan berkurangnya angka kelahiran (sebagai faktor utama menurunnya proporsi angkatan kerja).
Sementara dari sektor rumah tangga, apabila individu/keluarga mempunyai investasi atau saving yang tergolong besar, mereka cenderung tertarik untuk berinvestasi di luar negara Jepang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya pelarian modal (Muto, et al, Macroeconomic Impact of Population Aging in Japan: A Perspective coming from an Overlapping Generations product, November 2012).
Untuk menanggulangi bermacam persoalan diatas, pemerintah Jepang membuat pemetaan masalah dan menitikberatkan di beberapa faktor utama, yaitu dengan melonjakkan partisipasi perempuan serta mengambil tenaga profesional dari luar negeri untuk mengisi pasar tenaga kerja domestik.
Pemerintah Jepang menyadari bahwa dari komposisi laki-laki dan perempuan dalam populasi, terjadi gap yang besar dalam kaitannya dengan tenaga kerja. Gender gap ini tercermin dari data yang menyatakan hanya sekitar 38% perempuan usia kerja yang tetap berprofesi sebagai tenaga kerja setelah melahirkan.
Oleh karenanya pemerintah Jepang berupaya memfasilitasi pekerja perempuan yang sudah mempunyai anak, antara lain dengan membangun pusat perawatan anak (child-care), sehingga sang ibu Bisa tetap fokus dengan pekerjaan tanpa khawatir dengan perkembangan anaknya. Tutorial ini juga ditempuh untuk sekaligus melonjakkan angka kelahiran bayi, sebab hal ini pun mampu mengurangi kekhawatiran keluarga apabila mempunyai lebih dari satu anak.
Upaya diatas juga dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan gender, sebab menurut data resmi, tercatat hanya sekitar 2,1% perempuan memegang jabatan setingkat dewan direksi di Jepang. Ini terlalu sedikit untuk negara maju seperti Jepang, dibandingkan dengan 36% di Norwegia atau 20% di Canada dan Amerika Serikat. Sementara di sektor pemerintahan, hanya sekitar 3,3% perempuan menduduki jabatan manajerial (Organisation for Economic Cooperation as well as also also Development, OECD Economic Surveys: Japan, April 2017).
Pemerintah Jepang juga gencar menerima pekerja asing untuk bekerja diberbagai sektor swasta yang tersedia. Meskipun demikian, pemerintah Jepang cenderung sangat berhati-hati dan menerapkan Anggaran ketat terhadap pekerja asing profesional, terutama berkaitan dengan kemampuan individu itu sendiri dan kemampuan berbahasa Jepang yang mesti dikuasai hingga dengan level tertentu.
Demikian poin-poin mengenai problem penurunan populasi di Jepang serta usaha pemerintah setempat menanggulangi permasalahan tersebut. **
UPDATE ARTIKEL (Kamis, 10 Agustus 2017):
Data terbaru dari Biro Statistik Jepang (Statistics Bureau, Ministry of Internal Affairs as well as also also Communications, Japan) menunjukkan bahwa jumlah populasi penduduk Jepang per 1 Februari 2017 berada dikisaran 124,89 juta jiwa (tidak termasuk pendatang dan warga negara asing yang tinggal di Jepang); dengan rincian penduduk laki-laki sebanyak 60,80 juta dan penduduk perempuan sebesar 64,09 juta (www.stat.go.jp).
Sedangkan bila dilihat dari kelompok umur, maka jumlah penduduk kelompok umur 15-64 tahun menempati posisi terbanyak, yakni 74,71 juta; disusul kelompok usia 65 tahun keatas, yakni 34,63 juta jiwa. Sementara jumlah penduduk kelompok usia dibawah 15 tahun bahkan berada dibawah penduduk berumur 75 tahun keatas, atau sebesar 15,54 juta jiwa.
Catatan tersebut menegaskan signifikansi penurunan jumlah populasi penduduk Jepang apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. **
Artikel Ekonomi :
Upaya China Mengatasi Laju Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan Populasi Global beserta Permasalahannya
Memahami Dua Sisi Bonus Demografi (Demographic Bonus)
Hakikat Pembangunan Manusia (Human Development)
Apabila dibelahan dunia lain, terutama di negara berkembang dan negara miskin, permasalahan mengenai populasi biasanya mengenai ledakan jumlah penduduk Sebab tingginya angka kelahiran (fertility rate), maka yang terjadi di Jepang justru sebaliknya.
Penelitian menunjukkan bahwa penurunan populasi untuk usia kerja (15-64 tahun) per tahun mencapai rata-rata satu juta orang, dan diprediksikan akan terus menurun hingga 17% hingga dengan 2030.
wajib diketahui bahwa total penduduk Jepang di 2017 mencapai kurang lebih 126.5 juta jiwa, jumlah ini akan merosot di 2030 menjadi sekitar 116.5 juta jiwa dan akan semakin menyusut menjadi 97 juta jiwa di 2050 (National Institute of Population as well as also also Social Security Research, Population Projections for Japan: 2011 – 2060, Januari 2012).
Pertanyaan yang mengemuka tentunya merupakan bagaimana penurunan jumlah penduduk Bisa terjadi. Di negara berkembang dan negara miskin, terutama yang sedang mendapatkan konflik, terjadinya generasi yang hilang (lost generation) cenderung diakibatkan oleh perang, konflik bersenjata, serta pembumi-hangusan (genocide) terhadap kelompok masyarakat tertentu.
Sementara yang terjadi di Jepang, penurunan populasi lebih dikarenakan oleh faktor tingginya usia Asa hidup (life expectancy) yang dibarengi dengan menurunnya jumlah angka kelahiran (fertility rate). Faktor usia Asa hidup utamanya dipengaruhi oleh kesadaran akan pentingnya kesehatan oleh masyarakat sendiri, serta fasilitas kesehatan dan dana kesehatan yang disediakan oleh pemerintah Jepang.
Mengenai penurunan jumlah angka kelahiran lebih dikarenakan adanya pemikiran dari generasi muda di Jepang yang lebih mengutamakan karir dan pekerjaan profesional daripada membangun keluarga. Selain itu, individu-individu yang telah berkeluarga cenderung mempunyai dedikasi yang tinggi untuk merawat anak dengan sebaik-baiknya, sehingga membuat mereka di umumnya hanya mempunyai satu anak dalam setiap keluarga.
Penyebab lain merupakan terbatasnya ruang pribadi dan Tanah perumahan, terutama di kota-kota besar karena terbatasnya Tanah. Hal ini menimbulkan keadaan yang kurang kondusif untuk kaum muda dan pasangan baru dalam membangun suatu keluarga.
Disamping itu, studi juga menunjukkan bahwa penurunan populasi di Jepang berimplikasi negatif di produk nasional bruto (Gross National Product/GNP). Hal ini terjadi Sebab penurunan populasi didominasi oleh kalangan usia kerja. Tercatat juga bahwa angkatan kerja diperkirakan mendapatkan penurunan hingga dengan 50% untuk 50 tahun mendatang. Faktor lain yang menjadi temuan merupakan walaupun angka Asa hidup terbilang tinggi, sehingga memungkinkan individu-individu Bisa bekerja (memperoleh penghasilan) dalam periode waktu yang lebih lama, namun hal ini tidak sebanding dengan berkurangnya angka kelahiran (sebagai faktor utama menurunnya proporsi angkatan kerja).
Sementara dari sektor rumah tangga, apabila individu/keluarga mempunyai investasi atau saving yang tergolong besar, mereka cenderung tertarik untuk berinvestasi di luar negara Jepang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya pelarian modal (Muto, et al, Macroeconomic Impact of Population Aging in Japan: A Perspective coming from an Overlapping Generations product, November 2012).
Untuk menanggulangi bermacam persoalan diatas, pemerintah Jepang membuat pemetaan masalah dan menitikberatkan di beberapa faktor utama, yaitu dengan melonjakkan partisipasi perempuan serta mengambil tenaga profesional dari luar negeri untuk mengisi pasar tenaga kerja domestik.
Pemerintah Jepang menyadari bahwa dari komposisi laki-laki dan perempuan dalam populasi, terjadi gap yang besar dalam kaitannya dengan tenaga kerja. Gender gap ini tercermin dari data yang menyatakan hanya sekitar 38% perempuan usia kerja yang tetap berprofesi sebagai tenaga kerja setelah melahirkan.
Oleh karenanya pemerintah Jepang berupaya memfasilitasi pekerja perempuan yang sudah mempunyai anak, antara lain dengan membangun pusat perawatan anak (child-care), sehingga sang ibu Bisa tetap fokus dengan pekerjaan tanpa khawatir dengan perkembangan anaknya. Tutorial ini juga ditempuh untuk sekaligus melonjakkan angka kelahiran bayi, sebab hal ini pun mampu mengurangi kekhawatiran keluarga apabila mempunyai lebih dari satu anak.
Upaya diatas juga dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan gender, sebab menurut data resmi, tercatat hanya sekitar 2,1% perempuan memegang jabatan setingkat dewan direksi di Jepang. Ini terlalu sedikit untuk negara maju seperti Jepang, dibandingkan dengan 36% di Norwegia atau 20% di Canada dan Amerika Serikat. Sementara di sektor pemerintahan, hanya sekitar 3,3% perempuan menduduki jabatan manajerial (Organisation for Economic Cooperation as well as also also Development, OECD Economic Surveys: Japan, April 2017).
Pemerintah Jepang juga gencar menerima pekerja asing untuk bekerja diberbagai sektor swasta yang tersedia. Meskipun demikian, pemerintah Jepang cenderung sangat berhati-hati dan menerapkan Anggaran ketat terhadap pekerja asing profesional, terutama berkaitan dengan kemampuan individu itu sendiri dan kemampuan berbahasa Jepang yang mesti dikuasai hingga dengan level tertentu.
Demikian poin-poin mengenai problem penurunan populasi di Jepang serta usaha pemerintah setempat menanggulangi permasalahan tersebut. **
UPDATE ARTIKEL (Kamis, 10 Agustus 2017):
Data terbaru dari Biro Statistik Jepang (Statistics Bureau, Ministry of Internal Affairs as well as also also Communications, Japan) menunjukkan bahwa jumlah populasi penduduk Jepang per 1 Februari 2017 berada dikisaran 124,89 juta jiwa (tidak termasuk pendatang dan warga negara asing yang tinggal di Jepang); dengan rincian penduduk laki-laki sebanyak 60,80 juta dan penduduk perempuan sebesar 64,09 juta (www.stat.go.jp).
Sedangkan bila dilihat dari kelompok umur, maka jumlah penduduk kelompok umur 15-64 tahun menempati posisi terbanyak, yakni 74,71 juta; disusul kelompok usia 65 tahun keatas, yakni 34,63 juta jiwa. Sementara jumlah penduduk kelompok usia dibawah 15 tahun bahkan berada dibawah penduduk berumur 75 tahun keatas, atau sebesar 15,54 juta jiwa.
Catatan tersebut menegaskan signifikansi penurunan jumlah populasi penduduk Jepang apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. **
Artikel Ekonomi :
Upaya China Mengatasi Laju Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan Populasi Global beserta Permasalahannya
Memahami Dua Sisi Bonus Demografi (Demographic Bonus)
Hakikat Pembangunan Manusia (Human Development)
Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Belajar dari Penurunan Populasi di Jepang Yang Wajib Kita Tau"
Posting Komentar