Tinjauan Ekonomi dalam Konflik Bahari China Selatan (South China Sea) Yang Wajib Kita Tau
Hal mendasar seputar materi Tinjauan Ekonomi dalam Konflik Bahari China Selatan (South China Sea), bila setiap warga negara wajib mempunyai kemampuan pemahaman seputar pembahasan ekonomi, hal ini dikarenakan dengan kemajuan ekonomi di rumahtangga, masyarakat dan negara itu sendiri, maka belajar ekonomi memang wajib di galakkan sejak dini, sejak masih mengenal bangku pendidikan. Misalnya, karir paling populer yang Bisa dikejar kebanyakan dengan gelar ekonomi. Penelitian yang berbeda cenderung menemukan nilai gaji lulusan ekonomi cukup dibayar dengan bagus. Ini mengajarkan kita bagaimana Tips membuat pilihan, yang sangat penting dalam bisnis.
Tinjauan Ekonomi dalam Konflik Bahari China Selatan (South China Sea)
Salah satu persoalan faktual terkait hubungan antar negara dalam satu kawasan yaitu sengketa Bahari China Selatan (South China Sea). Konflik ini bukan permasalahan yang baru terjadi, melainkan sudah berawal sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Berbagai kepentingan saling berbenturan, antara lain menyangkut kedaulatan wilayah suatu negara, hegemoni politik dalam satu kawasan, Dominasi terhadap sumberdaya ekonomi, dan lain sebagainya. Namun demikian, tulisan ini akan lebih melihat dari perspektif ekonomi, khususnya menyangkut sumber Hartah alam yang terdapat di Bahari China Selatan.
dengan cara geografis, Bahari China Selatan mempunyai luas tidak kurang dari 2 juta km2 wilayah kelautan. Besaran luas tersebut setara dengan 22% luas wilayah daratan China; sehingga tidak mengherankan bila luas wilayah ini menjadi salah satu alasan strategis mengapa Bahari China Selatan diklaim oleh beberapa negara yang berbatasan langsung dengannya.
Adapun negara-negara yang terlibat dengan cara langsung atas sengketa Bahari China Selatan ini antara lain: China, Vietnam, Taiwan, Malaysia, Phillipina, dan Brunei Darusallam.
Berbagai studi menerangkan latar belakang konflik perebutan wilayah tersebut, beserta alasan-alasan yang menjadi dasar suatu negara mengklaim kawasan Bahari China Selatan. Contoh perebutan wilayah tersebut diantaranya yaitu saling klaim kepemilikan kepulauan yang terdapat dalam lingkup Bahari China Selatan, yakni Kepulauan Paracel (Paracel Islands) yang diklaim setidaknya oleh China, Vietnam, dan Taiwan.
Sementara itu ada satu kepulauan lain yang juga menjadi sengketa, yakni Kepulauan Spratly (Spratly Islands) yang menjadi klaim Vietnam, China, Taiwan, Philipina, Malaysia, dan Brunei Darusallam (Schofield, Clive, What’s at stake within the South China Sea? Geographical in addition to Geopolitical Considerations, University of Wollongong, 2013).
Dalam tinjauan ekonomi, data dari organisasi internasional the entire world Wildlife Fund (WWF) menyatakan bahwa didalam Bahari China Selatan terdapat Hartah yang melimpah, meliputi: biota Bahari, gugusan karang dan koral, serta berbagai sumber hayati lainnya.
Sebab wilayah ini relatif terlindung dari masalah badai berkat adanya gugusan karang sebagai penahan, maka wilayah ini menjadi tempat hidup yang sangat kondusif untuk berbagai kehidupan Bahari. Bahkan dinyatakan juga bahwa Bahari China Selatan menghasilkan kurang lebih 10% kebutuhan ikan dengan cara global (World Wildlife Fund, Resource Scarcity within the South China Sea, 2017).
Data lain yang dihimpun dari the United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan terdapat setidaknya 1.8 hektare tanaman mangrove, 750 ribu hektare bebatuan karang, serta 73 ribu hektare Hartah hayati berupa rumput Bahari. Apabila diberdayakan, maka sumberdaya tersebut Bisa menghasilkan nilai setara US$ 6,000 juta/tahun (www.unepscs.org).
Selain itu, wilayah ini juga menjadi perlintasan perdagangan internasional strategis yang menghubungkan berbagai negara di kawasan Asia-Pasifik. setelah itu yang tidak kalah pentingnya yaitu melimpahnya sumberdaya minyak bumi dan gas alam yang terdapat didalam Bahari China Selatan.
Salah satu penelitian menyebutkan bahwa terdapat kurang lebih 11 miliar barrel persediaan minyak bumi di kawasan ini, dan sekitar 190 triliun kubik cadangan gas alam. Jumlah ini setara dengan cadangan minyak yang dimiliki Meksiko dan sekitar dua-pertiga cadangan gas di Eropa, tidak termasuk Rusia (Metelitsa in addition to Kupfer, Oil in addition to Gas Resources in addition to Transit Issues within the South China Sea, 2014).
Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai konflik di Bahari China Selatan, bacaan berikut Bisa menjadi pertimbangan, Asia's Cauldron: The South China Sea in addition to the End of Stable Pacific, by Robert D. Kaplan, 2014.
Dalam mengatasi sengketa perebutan wilayah Bahari China Selatan, sebenarnya ada organisasi internasional yang bertugas membantu menyelesaikan konflik ini melalui kesepakatan-kesepakatan multilateral. Organisasi ini, the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), mempunyai peran penting dalam menentukan kesepakatan bersama atas klaim suatu wilayah, beserta hak-hak atas pemanfaatan sumberdaya yang ada didalamnya. Namun sayangnya, meskipun sudah ada kesepakatan-kesepakatan bersama, hingga saat ini persoalan di kawasan Bahari China Selatan tidak pernah menemukan titik temu.
Lantas dibuatlah product kesepakatan dalam bentuk kerjasama, yang diharapkan Bisa membantu mengurangi ketegangan dalam konflik di Bahari China Selatan. Salah satunya yaitu melalui kerjasama antara China dengan negara-negara ASEAN. Kerjasama China-ASEAN sangat dibutuhkan, setidaknya dalam meredam permasalahan supaya tidak bergerak terlalu jauh hingga membahayakan keamanan kawasan, meskipun ini bukan solusi ideal.
Yang tidak kalah penting yaitu peran negara pihak ketiga yang lebih netral dan tidak terlibat dengan cara langsung dalam sengketa (non-claimant country), seperti Indonesia, yang wajib mampu menjadi pencipta perdamaian (peace maker) dikawasan ini. Adapun peran tersebut Bisa diwujudkan melalui pendekatan budaya dan diplomasi, serta dengan terus menyerukan supaya negara-negara berkonflik menaati kesepakatan internasional dan tetap menjaga ketenangan kawasan.
Lebih jauh, upaya menjaga keamanan, kedamaian, dan membangun kemitraan antar negara juga diarahkan untuk mewujudkan salah satu tujuan dalam agenda the Sustainable Development Goals (SDGs), terutama tujuan ketujuhbelas, yakni memperkuat instrumen untuk mengimplementasikan dan merevitalisasi kerjasama global dalam rangka pembangunan jangka panjang.
Sebagai kesimpulan, sengketa yang terjadi di Bahari China Selatan melibatkan berbagai negara di kawasan dan luar kawasan dengan beragam kepentingan. Salah satu kepentingan yang mendasarinya yaitu sumber Hartah ekonomi yang terdapat didalam wilayah tersebut. Untuk itu diperlukan upaya dari pihak internasional dan pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam konflik, sebagai fasilitator sekaligus penjaga perdamaian kawasan, meskipun hal tersebut tidak serta-merta menuntaskan permasalahan. **
Artikel Ekonomi :
Mencermati Perkembangan Kekuatan Ekonomi China
Upaya China Mengatasi Laju Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan Populasi Global beserta Permasalahannya
Perdamaian, Keadilan, dan Kerjasama Global untuk Pembangunan Jangka Panjang
dengan cara geografis, Bahari China Selatan mempunyai luas tidak kurang dari 2 juta km2 wilayah kelautan. Besaran luas tersebut setara dengan 22% luas wilayah daratan China; sehingga tidak mengherankan bila luas wilayah ini menjadi salah satu alasan strategis mengapa Bahari China Selatan diklaim oleh beberapa negara yang berbatasan langsung dengannya.
Adapun negara-negara yang terlibat dengan cara langsung atas sengketa Bahari China Selatan ini antara lain: China, Vietnam, Taiwan, Malaysia, Phillipina, dan Brunei Darusallam.
Berbagai studi menerangkan latar belakang konflik perebutan wilayah tersebut, beserta alasan-alasan yang menjadi dasar suatu negara mengklaim kawasan Bahari China Selatan. Contoh perebutan wilayah tersebut diantaranya yaitu saling klaim kepemilikan kepulauan yang terdapat dalam lingkup Bahari China Selatan, yakni Kepulauan Paracel (Paracel Islands) yang diklaim setidaknya oleh China, Vietnam, dan Taiwan.
Sementara itu ada satu kepulauan lain yang juga menjadi sengketa, yakni Kepulauan Spratly (Spratly Islands) yang menjadi klaim Vietnam, China, Taiwan, Philipina, Malaysia, dan Brunei Darusallam (Schofield, Clive, What’s at stake within the South China Sea? Geographical in addition to Geopolitical Considerations, University of Wollongong, 2013).
Dalam tinjauan ekonomi, data dari organisasi internasional the entire world Wildlife Fund (WWF) menyatakan bahwa didalam Bahari China Selatan terdapat Hartah yang melimpah, meliputi: biota Bahari, gugusan karang dan koral, serta berbagai sumber hayati lainnya.
Sebab wilayah ini relatif terlindung dari masalah badai berkat adanya gugusan karang sebagai penahan, maka wilayah ini menjadi tempat hidup yang sangat kondusif untuk berbagai kehidupan Bahari. Bahkan dinyatakan juga bahwa Bahari China Selatan menghasilkan kurang lebih 10% kebutuhan ikan dengan cara global (World Wildlife Fund, Resource Scarcity within the South China Sea, 2017).
Data lain yang dihimpun dari the United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan terdapat setidaknya 1.8 hektare tanaman mangrove, 750 ribu hektare bebatuan karang, serta 73 ribu hektare Hartah hayati berupa rumput Bahari. Apabila diberdayakan, maka sumberdaya tersebut Bisa menghasilkan nilai setara US$ 6,000 juta/tahun (www.unepscs.org).
Selain itu, wilayah ini juga menjadi perlintasan perdagangan internasional strategis yang menghubungkan berbagai negara di kawasan Asia-Pasifik. setelah itu yang tidak kalah pentingnya yaitu melimpahnya sumberdaya minyak bumi dan gas alam yang terdapat didalam Bahari China Selatan.
Salah satu penelitian menyebutkan bahwa terdapat kurang lebih 11 miliar barrel persediaan minyak bumi di kawasan ini, dan sekitar 190 triliun kubik cadangan gas alam. Jumlah ini setara dengan cadangan minyak yang dimiliki Meksiko dan sekitar dua-pertiga cadangan gas di Eropa, tidak termasuk Rusia (Metelitsa in addition to Kupfer, Oil in addition to Gas Resources in addition to Transit Issues within the South China Sea, 2014).
Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai konflik di Bahari China Selatan, bacaan berikut Bisa menjadi pertimbangan, Asia's Cauldron: The South China Sea in addition to the End of Stable Pacific, by Robert D. Kaplan, 2014.
Dalam mengatasi sengketa perebutan wilayah Bahari China Selatan, sebenarnya ada organisasi internasional yang bertugas membantu menyelesaikan konflik ini melalui kesepakatan-kesepakatan multilateral. Organisasi ini, the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), mempunyai peran penting dalam menentukan kesepakatan bersama atas klaim suatu wilayah, beserta hak-hak atas pemanfaatan sumberdaya yang ada didalamnya. Namun sayangnya, meskipun sudah ada kesepakatan-kesepakatan bersama, hingga saat ini persoalan di kawasan Bahari China Selatan tidak pernah menemukan titik temu.
Lantas dibuatlah product kesepakatan dalam bentuk kerjasama, yang diharapkan Bisa membantu mengurangi ketegangan dalam konflik di Bahari China Selatan. Salah satunya yaitu melalui kerjasama antara China dengan negara-negara ASEAN. Kerjasama China-ASEAN sangat dibutuhkan, setidaknya dalam meredam permasalahan supaya tidak bergerak terlalu jauh hingga membahayakan keamanan kawasan, meskipun ini bukan solusi ideal.
Yang tidak kalah penting yaitu peran negara pihak ketiga yang lebih netral dan tidak terlibat dengan cara langsung dalam sengketa (non-claimant country), seperti Indonesia, yang wajib mampu menjadi pencipta perdamaian (peace maker) dikawasan ini. Adapun peran tersebut Bisa diwujudkan melalui pendekatan budaya dan diplomasi, serta dengan terus menyerukan supaya negara-negara berkonflik menaati kesepakatan internasional dan tetap menjaga ketenangan kawasan.
Lebih jauh, upaya menjaga keamanan, kedamaian, dan membangun kemitraan antar negara juga diarahkan untuk mewujudkan salah satu tujuan dalam agenda the Sustainable Development Goals (SDGs), terutama tujuan ketujuhbelas, yakni memperkuat instrumen untuk mengimplementasikan dan merevitalisasi kerjasama global dalam rangka pembangunan jangka panjang.
Sebagai kesimpulan, sengketa yang terjadi di Bahari China Selatan melibatkan berbagai negara di kawasan dan luar kawasan dengan beragam kepentingan. Salah satu kepentingan yang mendasarinya yaitu sumber Hartah ekonomi yang terdapat didalam wilayah tersebut. Untuk itu diperlukan upaya dari pihak internasional dan pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam konflik, sebagai fasilitator sekaligus penjaga perdamaian kawasan, meskipun hal tersebut tidak serta-merta menuntaskan permasalahan. **
Artikel Ekonomi :
Mencermati Perkembangan Kekuatan Ekonomi China
Upaya China Mengatasi Laju Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan Populasi Global beserta Permasalahannya
Perdamaian, Keadilan, dan Kerjasama Global untuk Pembangunan Jangka Panjang
Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Tinjauan Ekonomi dalam Konflik Bahari China Selatan (South China Sea) Yang Wajib Kita Tau"
Posting Komentar