Melihat Situasi Perekonomian Global 2018 Yang wajib Kita Baca
Pengetahuan Fundamental seputar materi Melihat Situasi Perekonomian Global 2018, bila setiap masyarakat negeri wajib mempunyai kepahaman seputar materi ekonomi, hal ini erat kaitannya dengan perkembangan ekonomi di rumahtangga, masyarakat dan negara itu sendiri, maka belajar ekonomi memang wajib di galakkan sejak dini, sejak masih mengenal bangku pendidikan. wajib dicatat bahwa gaji lulusan ekonomi termasuk yang tertinggi dari disiplin apapun. Penelitian yang berbeda cenderung menemukan nilai gaji lulusan ekonomi cukup dibayar dengan bagus. Kemampuan ilmu ekonomi misalnya pengambilan keputusan: apa yang wajib dilakukan pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran
Melihat Situasi Perekonomian Global 2018
Situasi perekonomian global di 2018 dipenuhi oleh ketidakpastian. Bukan hanya negara-negara berkembang aja yang merasakan dampak perlambatan ekonomi, namun juga negara-negara maju yang notabene mempunyai pondasi makroekonomi domestik yang relatif kuat.
Tulisan ini akan mengulas proyeksi perekonomian global 2018 termasuk perkembangan terakhir, yang disusun oleh beberapa Forum internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (the United Nations), Bank Dunia (the earth Bank), the International Monetary Fund (IMF), dan the Organisation for Economic Co-operation along with Development (OECD).
Dalam laporannya, the United Nations menyatakan bahwa tahun 2017 ditandai dengan merosotnya laju pertumbuhan perekonomian global, dari yang semula diprediksikan berkisar di angka 2.8% ternyata hanya mencapai 2.4%.
Penurunan pertumbuhan ekonomi di tahun tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya:
Perlambatan ekonomi global di 2017 membawa konsekuensi di Estimasi laju pertumbuhan ekonomi tahun berikutnya. di 2018, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan berada di angka 2.9%, artinya terdapat optimisme perbaikan meskipun tidak signifikan. Perbaikan ini diperkirakan muncul karena makin stabilnya kondisi moneter di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, negara-negara kawasan Uni Eropa (the European Union), serta negara-negara berkembang di kawasan Asia dan Afrika.
Pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju diperkirakan meningkat dari 1.9% di 2017 menjadi 2.2% di 2018. Sementara untuk negara-negara berkembang diproyeksikan mendapatkan peningkatan lebih besar lagi dari 3.8% di 2017 menjadi 4.3% di 2018.
Sementara karena laju pertumbuhan ekonomi yang melambat, terjadi peningkatan angka pengangguran (unemployment rate) dengan cara global, sekaligus penurunan jumlah lapangan kerja baru.
Lebih lanjut, penurunan harga komoditas penting dunia membawa dampak dengan cara langsung di angka Gross Domestic Product (GDP) negara-negara penghasil utama komoditas. Tercatat penurunan harga minyak mentah dunia lebih dari 55% sejak pertengahan 2014, serta harga komoditas pangan merosot hingga lebih dari 12%.
Perlambatan ekonomi juga mengakibatkan menurunnya investasi dengan cara global, bagus dalam infrastruktur, perdagangan, serta industri manufaktur (United Nations, World Economic Situation along with Prospects 2018, January, 2018).
Dalam perkembangan berikutnya, PBB menerbitkan update terbaru di pertengahan tahun 2018 yang menyebutkan bahwa pertumbuhan GDP di negara-negara belum berkembang (least-developed countries) diproyeksikan hanya akan mencapi 4.8% hingga dengan akhir 2018, jauh dibawah target pertumbuhan yang tercantum di agenda the Sustainable Development Goals (SDGs), yakni di angka 7% (United Nations, the earth Economic Situation along with Prospects as of mid-2018, May, 2018).
Disisi lain, the earth Bank menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang (Emerging Market along with Developing Economies/EMDEs) diperkirakan hanya akan mencapai 3.5%, lebih rendah 0.6% daripada proyeksi sebelumnya. Sementara untuk negara-negara dengan pendapatan rendah (low-income countries), pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 4.5%.
Bank Dunia juga menyebutkan bahwa perlambatan perekonomian global di 2018 terutama dikarenakan oleh melemahnya perdagangan global dan aktivitas produksi di sektor riil. Selain itu faktor ketidakpastian kondisi ekonomi dan politik, terutama terkait kebijakan-kebijakan pemerintah, serta situasi geopolitik kawasan, turut menyumbang perlambatan tersebut.
Negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara kawasan Uni Eropa sedang berada dalam fase penyesuaian setelah mendapatkan instabilitas perekonomian domestik, melalui serangkaian kebijakan moneter yang dilakukan oleh otoritas masing-masing, yakni the Federal Reserve dan the European Central Bank.
Sementara negara-negara di kawasan Asia seperti Jepang diperkirakan akan masih mendapatkan kontraksi ekonomi dengan petumbuhan yang tidak mendapatkan perubahan dengan cara signifikan. Konsumsi dalam negeri (domestic consumption) yang masih rendah, pendapatan domestik (domestic income) masih relatif kecil, serta kondisi pasar tenaga kerja (labor market) yang mengecewakan, menjadi penyumbang utama mandeg’nya perekonomian Jepang.
Sementara China mendapatkan perlambatan ekonomi yang cukup serius karena merosotnya perdagangan ekspor dan investasi di sektor industri (the earth Bank, Global Economic Prospects: Divergences along with Risks, June, 2018).
OECD dalam laporannya menyatakan bahwa risiko instabilitas di pasar keuangan global masih sangat besar. Tingginya volatilitas pergerakan harga saham-saham yang ada di pasar menjadi salah satu penyebab utama tidak stabilnya pasar keuangan global.
OECD sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2018 hanya berada di angka 3.0%, ditandai dengan penurunan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan Inggris.
Lalu-lintas perdagangan global pun tercatat mendapatkan penurunan cukup tajam, terutama diakibatkan oleh merosotnya harga komoditas dunia seperti minyak mentah dan komoditas pangan.
Selain itu OECD menyatakan bahwa kebijakan makroekonomi yang tepat, bagus di sektor moneter ataupun fiskal akan mampu melonjakkan pertumbuhan ekonomi dengan cara perlahan. Beberapa bank sentral, seperti the European Central Bank, the Federal Reserve, serta the Bank of Japan dipandang telah mengambil kebijakan moneter yang akomodatif dalam upaya mendorong perekomian domestik.
Sementara kebijakan fiskal yang diterapkan oleh otoritas fiskal menunjukkan hasil yang kontradiktif di banyak negara. Hal ini antara lain berkaitan dengan program stimulus fiskal yang belum menunjukkan hasil signifikan dalam melonjakkan konsumsi masyarakat.
OECD juga menekankan pentingnya reformasi struktural dalam pengambilan kebijakan untuk mengoptimalkan alokasi sumberdaya yang tersedia, sehingga mampu menciptakan efisiensi dan menghasilkan output sesuai yang diharapkan (OECD, Interim Economic Outlook: Stronger growth remains elusive, Urgent policy response will be needed, February, 2018).
Sementara itu, IMF dalam laporan World Economic Outlook menyebutkan bahwa perekonomian global di 2018 sedang berada dalam fase recovery, namun dengan laju yang masih lambat dan labil. Hal ini terjadi Sebab pasar global masih dalam volatilitas yang tinggi. IMF memandang adanya faktor non-ekonomi yang berpotensi menghambat laju perekomian global. Faktor tersebut antara lain terkait isu keamanan regional dan situasi politik domestik.
Disamping itu keluarnya Inggris dari blok Uni Eropa diperkirakan akan membawa ketidakstabilan di negara-negara anggota Uni Eropa lainnya, khususnya dalam lalu-lintas perdagangan barang dan jasa.
setelah itu faktor alam, sepeti Bala banjir, Bala kekeringan, serta badai el-nino juga menjadi perhatian serius Sebab berpotensi mempengaruhi perekonomian, terutama terkait ketersediaan bahan pangan dengan cara global.
Pasar-pasar di negara-negara berkembang diperkirakan akan terus menjaga stabilitas untuk menjaga supaya tidak terjadi kejatuhan seperti saat krisis ekonomi 2008 dan resesi ekonomi di 2014-2017. Selain itu IMF memproyeksikan pertumbuhan perekonomian global 2018 hanya sebesar 3.2%, turun dari proyeksi sebelumnya 3.4%.
Mata uang beberapa negara seperti Afrika Selatan, Meksiko, Rusia, dan Kolombia, diperkirakan mendapatkan depresiasi tajam. Penurunan harga minyak mentah dan penguatan mata uang US Dollar sedikit banyak telah mengubah kondisi perekonomian domestik negara-negara tersebut, apalagi Meksiko dan Rusia sebagai salah satu produsen minyak mentah dunia.
Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan hanya mencapai 6.5% di 2018, menurun 0.4% dari tahun sebelumnya (International Monetary Fund, World Economic Outlook: Too Slow for Too Long, April, 2018).
Sementara di update terakhir di bulan Juli 2018, IMF menyebutkan bahwa pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa membawa perubahan di pemerintahan domestik Inggris yang masih belum Bisa ditebak arahnya. Ketidakpastian ini berpotensi mengganggu pasar finansial, pasar perdagangan regional dan global, serta investasi di kawasan Eropa (International Monetary Fund, World Economic Outlook Update: Uncertainty inside the Aftermath of the U.K. Referendum, July, 2018).
Epilog, proyeksi perekonomian global 2018 yang ditunjukkan oleh indikator-indikator ekonomi seperti tersebut diatas menunjukkan bahwa situasi perekonomian global di 2018 belum akan mendapatkan peningkatan dengan cara signifikan. **
Artikel Ekonomi :
Memahami Konsep Globalisasi
Mengenal Foreign Direct Investment (FDI)
Konsep dan Permasalahan dalam Perdagangan Internasional
Menyoal Distribusi Pendapatan (Income Distribution)
Dalam laporannya, the United Nations menyatakan bahwa tahun 2017 ditandai dengan merosotnya laju pertumbuhan perekonomian global, dari yang semula diprediksikan berkisar di angka 2.8% ternyata hanya mencapai 2.4%.
Penurunan pertumbuhan ekonomi di tahun tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya:
- Permintaan global (global aggregate-demand) menurun sepanjang tahun.
- Penurunan harga komoditas ekonomi penting seperti minyak mentah, logam, serta produksi pangan.
- Volatilitas pasar keuangan global di banyak negara karena buruknya kinerja perekonomian domestik.
Perlambatan ekonomi global di 2017 membawa konsekuensi di Estimasi laju pertumbuhan ekonomi tahun berikutnya. di 2018, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan berada di angka 2.9%, artinya terdapat optimisme perbaikan meskipun tidak signifikan. Perbaikan ini diperkirakan muncul karena makin stabilnya kondisi moneter di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, negara-negara kawasan Uni Eropa (the European Union), serta negara-negara berkembang di kawasan Asia dan Afrika.
Pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju diperkirakan meningkat dari 1.9% di 2017 menjadi 2.2% di 2018. Sementara untuk negara-negara berkembang diproyeksikan mendapatkan peningkatan lebih besar lagi dari 3.8% di 2017 menjadi 4.3% di 2018.
Sementara karena laju pertumbuhan ekonomi yang melambat, terjadi peningkatan angka pengangguran (unemployment rate) dengan cara global, sekaligus penurunan jumlah lapangan kerja baru.
Lebih lanjut, penurunan harga komoditas penting dunia membawa dampak dengan cara langsung di angka Gross Domestic Product (GDP) negara-negara penghasil utama komoditas. Tercatat penurunan harga minyak mentah dunia lebih dari 55% sejak pertengahan 2014, serta harga komoditas pangan merosot hingga lebih dari 12%.
Perlambatan ekonomi juga mengakibatkan menurunnya investasi dengan cara global, bagus dalam infrastruktur, perdagangan, serta industri manufaktur (United Nations, World Economic Situation along with Prospects 2018, January, 2018).
Dalam perkembangan berikutnya, PBB menerbitkan update terbaru di pertengahan tahun 2018 yang menyebutkan bahwa pertumbuhan GDP di negara-negara belum berkembang (least-developed countries) diproyeksikan hanya akan mencapi 4.8% hingga dengan akhir 2018, jauh dibawah target pertumbuhan yang tercantum di agenda the Sustainable Development Goals (SDGs), yakni di angka 7% (United Nations, the earth Economic Situation along with Prospects as of mid-2018, May, 2018).
Disisi lain, the earth Bank menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang (Emerging Market along with Developing Economies/EMDEs) diperkirakan hanya akan mencapai 3.5%, lebih rendah 0.6% daripada proyeksi sebelumnya. Sementara untuk negara-negara dengan pendapatan rendah (low-income countries), pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 4.5%.
Bank Dunia juga menyebutkan bahwa perlambatan perekonomian global di 2018 terutama dikarenakan oleh melemahnya perdagangan global dan aktivitas produksi di sektor riil. Selain itu faktor ketidakpastian kondisi ekonomi dan politik, terutama terkait kebijakan-kebijakan pemerintah, serta situasi geopolitik kawasan, turut menyumbang perlambatan tersebut.
Negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara kawasan Uni Eropa sedang berada dalam fase penyesuaian setelah mendapatkan instabilitas perekonomian domestik, melalui serangkaian kebijakan moneter yang dilakukan oleh otoritas masing-masing, yakni the Federal Reserve dan the European Central Bank.
Sementara negara-negara di kawasan Asia seperti Jepang diperkirakan akan masih mendapatkan kontraksi ekonomi dengan petumbuhan yang tidak mendapatkan perubahan dengan cara signifikan. Konsumsi dalam negeri (domestic consumption) yang masih rendah, pendapatan domestik (domestic income) masih relatif kecil, serta kondisi pasar tenaga kerja (labor market) yang mengecewakan, menjadi penyumbang utama mandeg’nya perekonomian Jepang.
Sementara China mendapatkan perlambatan ekonomi yang cukup serius karena merosotnya perdagangan ekspor dan investasi di sektor industri (the earth Bank, Global Economic Prospects: Divergences along with Risks, June, 2018).
OECD dalam laporannya menyatakan bahwa risiko instabilitas di pasar keuangan global masih sangat besar. Tingginya volatilitas pergerakan harga saham-saham yang ada di pasar menjadi salah satu penyebab utama tidak stabilnya pasar keuangan global.
OECD sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2018 hanya berada di angka 3.0%, ditandai dengan penurunan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan Inggris.
Lalu-lintas perdagangan global pun tercatat mendapatkan penurunan cukup tajam, terutama diakibatkan oleh merosotnya harga komoditas dunia seperti minyak mentah dan komoditas pangan.
Selain itu OECD menyatakan bahwa kebijakan makroekonomi yang tepat, bagus di sektor moneter ataupun fiskal akan mampu melonjakkan pertumbuhan ekonomi dengan cara perlahan. Beberapa bank sentral, seperti the European Central Bank, the Federal Reserve, serta the Bank of Japan dipandang telah mengambil kebijakan moneter yang akomodatif dalam upaya mendorong perekomian domestik.
Sementara kebijakan fiskal yang diterapkan oleh otoritas fiskal menunjukkan hasil yang kontradiktif di banyak negara. Hal ini antara lain berkaitan dengan program stimulus fiskal yang belum menunjukkan hasil signifikan dalam melonjakkan konsumsi masyarakat.
OECD juga menekankan pentingnya reformasi struktural dalam pengambilan kebijakan untuk mengoptimalkan alokasi sumberdaya yang tersedia, sehingga mampu menciptakan efisiensi dan menghasilkan output sesuai yang diharapkan (OECD, Interim Economic Outlook: Stronger growth remains elusive, Urgent policy response will be needed, February, 2018).
Sementara itu, IMF dalam laporan World Economic Outlook menyebutkan bahwa perekonomian global di 2018 sedang berada dalam fase recovery, namun dengan laju yang masih lambat dan labil. Hal ini terjadi Sebab pasar global masih dalam volatilitas yang tinggi. IMF memandang adanya faktor non-ekonomi yang berpotensi menghambat laju perekomian global. Faktor tersebut antara lain terkait isu keamanan regional dan situasi politik domestik.
Disamping itu keluarnya Inggris dari blok Uni Eropa diperkirakan akan membawa ketidakstabilan di negara-negara anggota Uni Eropa lainnya, khususnya dalam lalu-lintas perdagangan barang dan jasa.
setelah itu faktor alam, sepeti Bala banjir, Bala kekeringan, serta badai el-nino juga menjadi perhatian serius Sebab berpotensi mempengaruhi perekonomian, terutama terkait ketersediaan bahan pangan dengan cara global.
Pasar-pasar di negara-negara berkembang diperkirakan akan terus menjaga stabilitas untuk menjaga supaya tidak terjadi kejatuhan seperti saat krisis ekonomi 2008 dan resesi ekonomi di 2014-2017. Selain itu IMF memproyeksikan pertumbuhan perekonomian global 2018 hanya sebesar 3.2%, turun dari proyeksi sebelumnya 3.4%.
Mata uang beberapa negara seperti Afrika Selatan, Meksiko, Rusia, dan Kolombia, diperkirakan mendapatkan depresiasi tajam. Penurunan harga minyak mentah dan penguatan mata uang US Dollar sedikit banyak telah mengubah kondisi perekonomian domestik negara-negara tersebut, apalagi Meksiko dan Rusia sebagai salah satu produsen minyak mentah dunia.
Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan hanya mencapai 6.5% di 2018, menurun 0.4% dari tahun sebelumnya (International Monetary Fund, World Economic Outlook: Too Slow for Too Long, April, 2018).
Sementara di update terakhir di bulan Juli 2018, IMF menyebutkan bahwa pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa membawa perubahan di pemerintahan domestik Inggris yang masih belum Bisa ditebak arahnya. Ketidakpastian ini berpotensi mengganggu pasar finansial, pasar perdagangan regional dan global, serta investasi di kawasan Eropa (International Monetary Fund, World Economic Outlook Update: Uncertainty inside the Aftermath of the U.K. Referendum, July, 2018).
Epilog, proyeksi perekonomian global 2018 yang ditunjukkan oleh indikator-indikator ekonomi seperti tersebut diatas menunjukkan bahwa situasi perekonomian global di 2018 belum akan mendapatkan peningkatan dengan cara signifikan. **
Artikel Ekonomi :
Memahami Konsep Globalisasi
Mengenal Foreign Direct Investment (FDI)
Konsep dan Permasalahan dalam Perdagangan Internasional
Menyoal Distribusi Pendapatan (Income Distribution)
Subscribe Our Newsletter
Belum ada Komentar untuk "Melihat Situasi Perekonomian Global 2018 Yang wajib Kita Baca"
Posting Komentar