Arab Saudi, Ancaman Krisis Ekonomi Dibalik Melimpahnya Cadangan Minyak Bumi Yang Wajib Kita Ketahui
inti Fundamental seputar materi Arab Saudi, Ancaman Krisis Ekonomi Dibalik Melimpahnya Cadangan Minyak Bumi, bahwa setiap masyarakat negara wajib mempunyai kepahaman seputar pembahasan ekonomi, hal ini erat kaitannya dengan kemajuan ekonomi di rumahtangga, masyarakat dan negara itu sendiri, maka belajar ekonomi memang wajib di galakkan sejak dini, sejak masih mengenal bangku pendidikan. wajib dicatat bahwa gaji lulusan ekonomi termasuk yang tertinggi dari disiplin apapun. Penelitian yang berbeda cenderung menemukan nilai gaji lulusan ekonomi cukup dibayar dengan bagus. Ini mengajarkan kita bagaimana Tips membuat pilihan, yang sangat penting dalam bisnis.
Arab Saudi, Ancaman Krisis Ekonomi Dibalik Melimpahnya Cadangan Minyak Bumi
Banyak negara di planet bumi yang dianugerahi Hartah alam melimpah untuk menopang kesejahteraan masyarakatnya. Akan akan tetapi, tidak sedikit dari negara-negara tersebut yang justru menemui ketergantungan di sumberdaya yang dimilikinya. Setelah di artikel sebelumnya kita membahas mengenai krisis ekonomi di Venezuela, maka tulisan ini akan mengulas mengenai ancaman krisis yang melanda Arab Saudi, salah satu produsen minyak terbesar di dunia.
Arab Saudi (The Kingdom of Saudi Arabia) terletak di benua Asia bagian barat, tepatnya di Semenanjung Arab (Arabian Penninsula) dengan luas wilayah sekitar 2.2 juta km2 dan populasi penduduk kurang-lebih sebanyak 31.54 juta jiwa di 2017 (data.un.org).
Sistem pemerintahan yang dianut Arab Saudi berwujud kerajaan (monarchical autocracy), yang dipimpin oleh seorang raja sebagai pemimpin tertinggi. Disamping itu, Arab Saudi termasuk dalam kategori negara berpendapatan tinggi (high-income country) menurut laporan Bank Dunia, dan merupakan salah satu anggota kelompok G20 (the Group of Twenty).
Adapun Gross Domestic Product (GDP) yang diperoleh Arab Saudi di 2017 mencapai US$ 646 milliar, dengan GDP per kapita berkisar di angka US$ 20.5 ribu. Dari angka tersebut, lebih dari 45% total GDP bersumber dari perdagangan minyak mentah di pasar internasional.
Sementara mayoritas pekerja di sektor industri minyak berasal dari warga non-Arab Saudi. Tercatat lebih dari 80% tenaga kerja tersebut merupakan pendatang dari berbagai negara.
Lebih lanjut, Arab Saudi menghadapi persoalan domestik yang multidimensional. Selain faktor non-ekonomi (seperti korupsi, isu kesetaraan gender, ideologi, dan budaya), beberapa faktor ekonomi diyakini menjadi pemicu krisis. Adapun faktor ekonomi tersebut diuraikan dibawah ini.
Arab Saudi sangat bergantung di hasil penjualan (ekspor) minyak mentah untuk menjalankan roda perekonomian. Terlalu mengandalkan pendapatan dari perdagangan minyak mentah membuat negara ini menemui krisis domestik, terutama di saat harga minyak mentah dunia merosot tajam. Sebagai catatan, di pertengahan 2014, harga minyak mentah di pasar internasional masih bertengger di angka US$ 110/barrel. Angka tersebut setelah itu menukik tajam dibawah US$ 50/barrel di 2017, bahkan sempat menyentuh level US$ 26/barrel di awal 2018.
Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab merosotnya harga minyak mentah dunia di periode-periode tersebut, antara lain:
Membengkaknya konsumsi domestik atas bahan bakar minyak. Kebutuhan untuk konsumsi minyak dalam negeri mencapai 2.8 juta barrel/hari, atau lebih dari 25% total produksi minyak mentah. Selain itu, konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri menemui peningkatan rata-rata mencapai 7%/tahun; angka ini membuat konsumsi nasional mencapai dua kali lipat dalam jangka sepuluh tahun. Hal ini tentu mengganggu kuantitas ekspor minyak mentah yang selama ini menjadi andalan Arab Saudi.
Disamping itu, mengingat bahwa pemerintah membagikan subsidi yang besar untuk konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri, maka persoalan menjadi semakin rumit. Belum lagi dampak lingkungan karena konsumsi bahan bakar minyak tersebut; sementara disaat yang sama, banyak negara bersepakat untuk menanggulangi Imbas pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change), yang antara lain diakibatkan oleh pemakaian sumberdaya energi tak terbarukan (non-renewable resources).
Pemerintah Arab Saudi sendiri sebenarnya menjalankan berbagai upaya untuk menanggulangi ancaman krisis, antara lain dengan:
Lebih jauh, kebijakan moneter Arab Saudi yang mematok (pegging) mata uang Riyal di US Dollar membawa Imbas positif sekaligus negatif. Disatu sisi, dengan mematok mata uang, keuntungan yang diperoleh pemerintah Arab Saudi antara lain berupa stabilitas dalam kebijakan moneter dan perdagangan, perputaran income, hingga aset keuangan. Akan akan tetapi kebijakan menjangkarkan mata uang berimplikasi di sedikitnya ruang (fleksibilitas) dalam penentuan kebijakan moneter, sebab penentuan tingkat suku bunga mengikuti kebijakan the Federal Reserve.
Sempitnya ruang moneter mengharuskan pemerintah Arab Saudi pandai-pandai mengombinasikan kebijakan fiskal, manajemen operasional, dan kebijakan-kebijakan strategis lain, dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan mengelola sektor finansial.
di akhirnya pelajaran yang Bisa dipetik yaitu, melalui reformasi kebijakan pemerintah serta perubahan pola pikir masyarakat dalam pemanfaatan Hartah alam dan sumberdaya energi, diharapkan mampu menanggulangi atau setidaknya mengurangi dampak negatif krisis yang terjadi. **
Artikel Ekonomi :
Perestroika dan Glasnost, Transformasi ala Negeri Beruang Merah
OPEC: menggali ladang minyak dunia
SDGs: isu perubahan iklim, sumberdaya kelautan, dan ekosistem bumi
Harga Minyak Dunia dan Kaitannya Dengan Perekonomian
Sistem pemerintahan yang dianut Arab Saudi berwujud kerajaan (monarchical autocracy), yang dipimpin oleh seorang raja sebagai pemimpin tertinggi. Disamping itu, Arab Saudi termasuk dalam kategori negara berpendapatan tinggi (high-income country) menurut laporan Bank Dunia, dan merupakan salah satu anggota kelompok G20 (the Group of Twenty).
Adapun Gross Domestic Product (GDP) yang diperoleh Arab Saudi di 2017 mencapai US$ 646 milliar, dengan GDP per kapita berkisar di angka US$ 20.5 ribu. Dari angka tersebut, lebih dari 45% total GDP bersumber dari perdagangan minyak mentah di pasar internasional.
Sementara mayoritas pekerja di sektor industri minyak berasal dari warga non-Arab Saudi. Tercatat lebih dari 80% tenaga kerja tersebut merupakan pendatang dari berbagai negara.
Lebih lanjut, Arab Saudi menghadapi persoalan domestik yang multidimensional. Selain faktor non-ekonomi (seperti korupsi, isu kesetaraan gender, ideologi, dan budaya), beberapa faktor ekonomi diyakini menjadi pemicu krisis. Adapun faktor ekonomi tersebut diuraikan dibawah ini.
Arab Saudi sangat bergantung di hasil penjualan (ekspor) minyak mentah untuk menjalankan roda perekonomian. Terlalu mengandalkan pendapatan dari perdagangan minyak mentah membuat negara ini menemui krisis domestik, terutama di saat harga minyak mentah dunia merosot tajam. Sebagai catatan, di pertengahan 2014, harga minyak mentah di pasar internasional masih bertengger di angka US$ 110/barrel. Angka tersebut setelah itu menukik tajam dibawah US$ 50/barrel di 2017, bahkan sempat menyentuh level US$ 26/barrel di awal 2018.
Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab merosotnya harga minyak mentah dunia di periode-periode tersebut, antara lain:
- adanya perlambatan perekonomian global. dengan cara umum, sektor riil di tingkat global menemui penurunan dengan cara signifikan. Hal ini juga terkait dengan menguatnya nilai tukar mata uang US$. Kebijakan bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed) saat itu yang mulai menghentikan kebijakan quantitative easing turut mendongkrak nilai US$ di pasar internasional.
- munculnya risiko geopolitik, antara lain terkait dengan persoalan aneksasi wilayah Crimea oleh Rusia, yang turut menyeret keterlibatan Amerika Serikat dan Uni Eropa. wajib dicatat bahwa Amerika Serikat dan Rusia juga merupakan produsen minyak mentah terbesar di dunia.
- timbulnya kesadaran akan pentingnya mengurangi emisi gas buang dari konsumsi bahan bakar minyak yang Bisa membahayakan lingkungan, sesuai dengan tujuan agenda the Millenium Development Goals (MDGs), yang setelah itu dilanjutkan dengan the Sustainable Development Goals (SDGs).
Membengkaknya konsumsi domestik atas bahan bakar minyak. Kebutuhan untuk konsumsi minyak dalam negeri mencapai 2.8 juta barrel/hari, atau lebih dari 25% total produksi minyak mentah. Selain itu, konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri menemui peningkatan rata-rata mencapai 7%/tahun; angka ini membuat konsumsi nasional mencapai dua kali lipat dalam jangka sepuluh tahun. Hal ini tentu mengganggu kuantitas ekspor minyak mentah yang selama ini menjadi andalan Arab Saudi.
Disamping itu, mengingat bahwa pemerintah membagikan subsidi yang besar untuk konsumsi bahan bakar minyak dalam negeri, maka persoalan menjadi semakin rumit. Belum lagi dampak lingkungan karena konsumsi bahan bakar minyak tersebut; sementara disaat yang sama, banyak negara bersepakat untuk menanggulangi Imbas pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change), yang antara lain diakibatkan oleh pemakaian sumberdaya energi tak terbarukan (non-renewable resources).
Pemerintah Arab Saudi sendiri sebenarnya menjalankan berbagai upaya untuk menanggulangi ancaman krisis, antara lain dengan:
- Mengurangi subsidi pemerintah, termasuk di bahan bakar, listrik, dan air. Hal ini diupayakan dengan menaikkan biaya konsumsi bahan bakar. Upaya ini sekaligus sebagai sarana untuk mengurangi subsidi bahan bakar, sehingga Bisa dimanfaatkan untuk pengembangan sektor produktif diluar sektor minyak.
- Mengurangi ketergantungan di minyak bumi. Melalui Program Efisiensi Energi Nasional (National Energy Efficiency Programme/NEEP) yang diluncurkan di 2002, diupayakan untuk mendorong konsumsi sumberdaya energi se’efisien mungkin.
- Mengembangkan usaha diluar sektor perminyakan dan mengarahkan tenaga kerja yang tersedia untuk bekerja di sektor-sektor tersebut.
- Penerbitan obligasi pemerintah serta penjualan ke publik atas saham perusahaan minyak nasional (Aramco) hingga 5%.
- Menambah sumberdaya energi baru dan terbarukan (renewable resources). Usaha ini antara lain diwujudkan melalui kerjasama dengan pemerintah Jepang dalam pengembangan sumber energi berbasis nuklir (nuclear power plantation) serta energi matahari (solar power station).
Lebih jauh, kebijakan moneter Arab Saudi yang mematok (pegging) mata uang Riyal di US Dollar membawa Imbas positif sekaligus negatif. Disatu sisi, dengan mematok mata uang, keuntungan yang diperoleh pemerintah Arab Saudi antara lain berupa stabilitas dalam kebijakan moneter dan perdagangan, perputaran income, hingga aset keuangan. Akan akan tetapi kebijakan menjangkarkan mata uang berimplikasi di sedikitnya ruang (fleksibilitas) dalam penentuan kebijakan moneter, sebab penentuan tingkat suku bunga mengikuti kebijakan the Federal Reserve.
Sempitnya ruang moneter mengharuskan pemerintah Arab Saudi pandai-pandai mengombinasikan kebijakan fiskal, manajemen operasional, dan kebijakan-kebijakan strategis lain, dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan mengelola sektor finansial.
di akhirnya pelajaran yang Bisa dipetik yaitu, melalui reformasi kebijakan pemerintah serta perubahan pola pikir masyarakat dalam pemanfaatan Hartah alam dan sumberdaya energi, diharapkan mampu menanggulangi atau setidaknya mengurangi dampak negatif krisis yang terjadi. **
Artikel Ekonomi :
Perestroika dan Glasnost, Transformasi ala Negeri Beruang Merah
OPEC: menggali ladang minyak dunia
SDGs: isu perubahan iklim, sumberdaya kelautan, dan ekosistem bumi
Harga Minyak Dunia dan Kaitannya Dengan Perekonomian
Subscribe Our Newsletter
Waduh baru tahu saya kejadian seperti ini, Parah jg ya.
BalasHapusBermanfaat bngt informasi satu ini, Orng yg ga tahu jadi tahu.
Terima kasih